Narsis Tanpa Kaca by Yudha Argapratama

Ada dua hal menarik yang saya pelajari dari kelas Trainers Bootcamp yang saya ikuti kemarin. Dua hal ini merubah mindset saya selama ini tentang perilaku Seorang Trainer dalam men-deliver training kepada audiensnya. Mindset yang waktu saya pahami, seolah–olah kepala saya seperti dibenturkan ke tembok yang keras, karena selama ini ternyata saya belum mempraktekkannya.
Pasti anda penasaran, apaan sih ?
So Kita bahas yuk …
Pertama, jadi Trainer itu harus Narsis
Ini termasuk kalimat yang cukup banyak saya dengar dalam kegiatan Trainers Bootcamp. Entah dari teman sesama peserta, fasilitator, bahkan dari Pak Jamil Azzaini sendiri menyampaikan hal tersebut. Mungkin banyak dari kita yang merasa, kok gitu ya? Bukannya jadi Trainer itu harus rendah hati, baik hati dan tidak sombong ? Bukannya jadi trainer itu harus ja-im (jaga image)?
Tapi itulah yang saya dapat. Semua aktivitas dan latihan yang dilakukan, semua mengarahkan kita para Trainer untuk jadi lebih Narsis. Bayangkan, kita harus latihan olah tubuh yang membuat tubuh kita lepas dari belenggu pikiran. Harus mengekspresikan seliar-liarnya gerakan tubuh kita. Kita juga harus olah vokal kita dengan sebaik mungkin. Kapan harus teriak, kapan harus berbisik. Kapan harus cepat, kapan harus lambat. Kapan harus jeda, kapan harus bicara lagi. Kita juga harus latihan gimana menarik perhatian audiens. Bahkan dengan segala cara. Kalo perlu, kita harus berani tampil memalukan di depan peserta.
Kedua, Kalau Anda Narsis, Narsislah untuk memuaskan Audiens Anda
Whats ! apa lagi ini. Bukannya Narsis itu untuk diri sendiri. Bukannya kita harus tampil sebaik mungkin untuk memuaskan diri kita ? Makanya, inilah yang membuat saya harus membenturkan kepala saya berkali-kali ke tembok yang keras (lebai banget kan? Narsis lagi kan? Kayaknya udah keserap ilmunya. Hehehe..).
Mengapa seperti itu? Pelajaran ini saya pahami waktu disampaikan, “semua latihan di atas, jangan sekali-kali lakukan di depan kaca !!”. Kenapa begitu? Karena kalau kita latihan di depan kaca, kita akan berusaha memantaskan diri kita untuk se-Keren mungkin. Kita akan cenderung pakai topeng . Kita akan tampil, yang kalau saya pinjem istilah teman saya yang belajar psikologi, faking good (berpura-pura).
Dan situlah intinya, Seorang Trainer tidak akan dipercaya auidensnya kalau dia berpura-pura. Trainer tidak akan bisa menginspirasi orang, kalo dia fokus pada memuaskan egonya sendiri. Trainer tidak akan menggerakkan manusia menjadi lebih baik, kalau dia sendiri tidak menyampaikan dengan Hati. Dan percayalah, secanggih apapun teknik delivery yang Anda lakukan, audiens kita bisa merasakannya.
Mereka akan tau kalau : “ ah, trainernya cuma ngomong doang”, “ trainernya ga tulus tuh”. “ ah, percuma gue ikutin trainernya, toh dia juga ga lakukan apa yang dia katakan”
Sekali lagi, ini jadi bahan renungan kita semua.
Sudahkah kita menyampaikan dengan hati?
Sudahkah kita menyampaikan hal-hal, yang memang kita sudah lakukan?
Sudahkah kita, kalau saya ambil judul posting dia atas, Narsis Tanpa Kaca?

Catatan : tulisan ini pernah saya posting di : http://www.trainerlaris.com